TEMPO.CO, Jakarta -Setelah berkali-kali menampik bujukan Residen Semarang Pieter Sijthoff dan Nyonya Marie Ovink-Soer, istri bekas asisten Residen Jepara, untuk membebaskan Kartini, Rukmini, dan Kardinah dari pingitan, sang ayah Raden Mas Adipati Ario Sostroningrat akhirnya mencabut belenggu itu pada 2 Mei 1898. Kala itu, pingitan Kartini menjelang memasuki tahun keenam, sedangkan Rukmini dan Kardinah tahun kedua.
Seperti ingin merayakannya, sang ayah mengajak tiga putrinya tersebut ke luar Jepara. Mereka menghadiri perayaan Hari Penobatan Ratu Wilhelmina di ibu kota Karesidenan, Semarang. Dalam hidupnya, ini pertama kali bagi Kartini keluar dari Jepara.
Kartini menggambarkan suasana hatinya itu dalam suratnya kepada Estelle ”Stella” Zeehandelaar tertanggal 25 Mei 1899, yang disitir Sitisoemandari Soeroto dalam bukunya, Kartini: Sebuah Biografi, seperti dimuat majalah Tempo, 22 April 2013.
“Sungguh, ini adalah kemenangan kami, kemenangan yang begitu kami dambakan. Adalah hal aneh bagi gadis-gadis sekelas kami muncul di keramaian, orang-orang mulai menggosip dan memperbincangkannya, 'dunia' menjadi terheran-heran. Hei, bersulanglah untuk kami! Dunia serasa menjadi milik kami”!
Kembali dari Semarang, ketiganya sepakat mewujudkan diskusi-diskusi yang selama ini mereka bicarakan dalam kamar pingitan. Apalagi orang tua mereka merestui ketiganya untuk ”menyelidiki” kehidupan rakyat--mengetahui bagaimana kehidupan di luar. Maka, bersama dua saudaranya itu, Kartini blusukan keluar-masuk kampung, terutama di Jepara bagian selatan. Mereka mendatangi sejumlah sentra kerajinan rakyat. Lewat inilah Kartini mengetahui suka dan duka masyarakat sekelilingnya. ”Oleh-oleh” dari blusukan itu dia tuangkan dalam sejumlah tulisan.
Bakat menulis Kartini terasah sejak ia dipingit. Awalnya hanya Sosrokartono, Rukmini, dan Kardinah yang mengetahui kemampuan ini. Tulisan pertamanya adalah mengenai upacara perkawinan suku Koja di Jepara. Kartini dengan sangat detail menggambarkan prosesi perkawinan warga keturunan Arab tersebut.
Dia, misalnya, menggambarkan tradisi brinei mempelai perempuan di malam sebelum pernikahan, yakni mewarnai kuku jari dengan tumbukan halus daun pacar atau inai. Ia juga mendeskripsikan pakaian pengantin, bentuk kuade (dekorasi pelaminan), suasana selamatan, sampai ajuran--upacara saling menyuap nasi kuning. Tak ketinggalan ritual mandi-mandi, yang menandai akhir tiga hari larangan pengantin keluar dari kamar.
Bagi Didi Kwartanada, sejarawan Yayasan Nabil yang banyak meneliti tentang Kartini, artikel perkawinan di Pekojan itu karya tulis yang luar biasa. Didi bahkan menyebutnya sebagai karya ilmiah. “Bukan hanya wartawan pertama, melainkan juga antropolog pertama Indonesia,” katanya.
Karangan Kartini yang berjudul Het Huwelijk bij de Kodja's (Perkawinan Itu di Koja) tersebut dipublikasikan dalam Bijdragen tot de Taal-, Land en Volkenkunde (Jurnal Humaniora dan Ilmu Pengetahuan Sosial Asia Tenggara dan Oseania) volume 50 nomor 1 tahun 1898 (halaman 695-702). Ini merupakan jurnal ilmiah bidang bahasa, antropologi, dan sejarah terpandang serta masih terbit sampai saat ini sejak 1853.
Selanjutnya: Menulis Buku di Usia 16 Tahun